Memaafkan adalah Hal yang Baik


Memaafkan adalah Hal yang BaikBeberapa orang yang saling bersatu. Itulah yang ku sebut kelompok. Orang-orang yang ada di dalam kelompok itu, akan berusaha untuk menjaga keharmonisan antar anggota kelompoknya, dengan cara meningkatkan kekompakan, menguatkan persatuan dan sebagainya. Tapi, itu semua tidak menjamin keharmonisan dalam kelompok. Banyak halang rintang yang berusaha untuk menggoyahkan itu semua.

 

Kadang, disadari atau tidak, disengaja atau tidak. Di dalam kelompok itu pasti ada perpecahan yang menjadikan beberapa kubu didalamnya, dan membuat keharmonisan kelompok kita retak. Retak. Belum pecah, masih bisa di perbaiki. Meski yang menjadi “pusat” permasalahan atau perpecahan itu hanya dua orang. Tapi itu semua memberikan pengaruh yang besar terhadap orang lain.

Ketika mereka (orang yang berselisih) adalah teman bahkan sahabat kita, kita tak tahu harus bagaimana. Harusakah kita pro atau malah kontra. Pro artinya sependapat, dan kontra artinya tidak sependapat. Apakah kita harus pro pada si A, dan kontra pada si B? atau pro pada si B, dan kontra pada si A. Dan disinilah kita dilema. Hati kecil pun yang katanya selalu bisa memilih tak dapat memilih. Karena ini menyangkut “kebenaran” dan “keadilan”. Maka, jalan yang sering diambil adalah netral. Dimana tidak ada pro dan kontra terhadap keduanya.

Hari ini matahari bersinar dengan teriknya. Panasnya menembus baju olahraga ku, dan tepat masuk menjilati kulitku. Aku bersama teman-temanku duduk di bawah pohon akasia yang rimbun, sambil sesekali mengibas-ibaskan kerudung dan diiringi keluhan-keluhan. Ada juga yang mengambil dedaunan lalu menjadikannya kipas. Konyol. Disaat diam menatap langit, roda video yang berisi memori masa lalu itu berputar begitu saja. Mengajakku untuk bernostalgia.

Hari itu aku bersama teman-temanku, Luna, Kinal, Ayana, Rona, Beby, Sonya, Melodi dan yang lainnya, sedang berkumpul sambil bernyanyi ria di bawah pohon palm di depan kelasku.

“Koi wa itazurana tenshi no shippo FUWAFUWA mikiko ni nigeruno, akogareno taiyou ga mabushi sugiru..”

Begitulah lirik yang kami nyanyikan. Terlihat asing bukan? Tentu saja, itu lagu dari Negeri Matahari Terbit.

Pandanganku tertarik pada tiga orang manusia yang sedang berkumpul di dekat pintu kelas, mereka Stella, Via dan Nabilah. Aku melihat wajah Stella yang seperti hendak menangis. Melihat kejadian itu, aku jadi teringat kejadian pada hari kemarin. Kemarin sepulang sekolah, aku bersama Luna CS sedang bergunjing di depan kelas. Kami menggunjingkan Stella tentang tingkah dan sikapnya yang menyebalkan juga centil. Memang, kami tidak menyukai tingkah dan sikap stella, apa lagi Luna. Kami sepakat tidak akan memberitahukan apa yang kami gunjingkan kepada Stella. Tapi salah satu di antara kami ada yang berkhianat.

READ:  Cerpen Remaja - Korban Cemburu

Melihat Stella yang kini sudah menangis, hatiku menjadi merasa bersalah. Meski bukan aku yang membocorkannya, tapi aku tetap merasa bersalah. Bersalah karena sudah menggunjingkan dia. Kenapa juga kemarin aku terbawa emosi? Oh god… kenapa penyesalan selalu datang terakhir. Aku baru menyesal dan menyadari kesalahnku ketika Stella sudah menangis. Tapi aku tidak menyukai sikap Stella dan sependapat dengan Luna, tapi di sisi lain, aku merasa bersalah kepada Stella karena kemarin telah menggunjingkannya.

Stella, maafkan aku. Aku tahu aku salah dan ingin meminta maaf langsung padamu. Tapi, saraf-saraf ini seperti tidak berfungsi lagi. Aku hanya bisa diam dan memandangmu yang tengah menangis sakit hati. Oh God… siapa yang harus aku pilih? Stella, ataukah Luna? Tidak! Maaf teman aku tak bisa memilih salah satu di antara kalian. Cause you are my friendship.

Hari jumat yang free, aku bersama Luna sedang duduk di depan kelas. Kami menceritakan ini dan itu sampailah kami di satu titik, dimana kami menceritakan Stella.
“Lun, kamu masih marah ya sama Luna?” Tanyaku penuh selidik.
“Iya.” Jawab luna singkat.
“Apa gak sebaiknya kamu duluan yang minta maaf?” Tanyaku lagi.
“Gak. Kamu kenapa sih Cik? Mau bela dia?” Jawab Luna dan diiringi pertanyaan pertanyaan sinis.
“Dengar ya Luna, disini aku gak bela siapa-siapa.” Ucapku dan langsung pergi meninggalkan Luna yang wajahnya berubah masam.

Aku menghampiri Stella yang tengah menulis di bangkunya. Memang aku dan Stella telah akrab seperti biasanya.
“Stella, kamu masih marah ya, sama Luna?” Tanyaku pada Stella.
Stella menatapku dan memberhientikan aktivitasnya. “Siapa sih yang gak marah dan sakit hati kalo disebut begituan?” Ucap Stella lalu melanjutkan menulis lagi. “Pasti marah kan, termasuk kamu.”

Ucapan Luna memang blak-blakan dan nyelekiiittt… pantas saja, Stella masih sakit hati dan tidak terima di bilang seperti itu. Memangnya pembaca mau kalau disebut l***e? pasti tidak. Karena ucapannya itulah, Luna orang paling ditakuti di kelas.

Hari telah berlalu, aku melihat Luna dan Stella sudah tak saling bicara. Suasana kelas pun menjadi dingin. Mungkin, tugasku disini adalah sebagai penengah dan pemersatu. Mmm.. difikir-fikir aku seperti avatar yang bertugas menyatukan duni… hahah.. ngimpi. Tapi bener loh, aku ingin menyatukan kembali persahabatan kami. Karena aku teringat kata-kata favorit ku: Perbailkilah selagi retak sebelum pecah.

READ:  Cerpen Perasaan itu Berawal dari Bola Basket

Sepulang sekolah hari ini, aku menunggu motorku yang belum keluar bersama Luna di depan lobi. Aku akan mencoba untuk menyuruh Luna meminta maaf kepada Stella.
“Lun, kamu yakin gak mau minta maaf duluan sama Stella?” Tanyaku hati-hati
“Gak! Gak akan, dia yang salah.” Ucap Luna tegas.
“Sebaiknya, kamu yang minta maaf duluan sama Stella deh, dia kan ngerasa sakit hati gara-gara ucapan kamu yang super nyelekit itu loh..”
“Kamu kenapa sih Cik? Aku dan Stella yang punya masalah, kok jadi kamu yang repot. Lagian, aku gak salah.” Uuuhhh… anak ini memang keras kepala.
“Kamu harusnya mikir luas dong Luna, di dunia ini mana ada orang yang mau salah dan dianggap salah. Semua orang itu selalu ingin benar dan dianggap benar. Tapi, apakah “kebenaran” yang diraskan itu adalah “kebenaran” sesungguhnya? Belum tentu. Karena benar menurut diri sendiri, belum tentu benar menurut orang lain.” Aku menceramahi Luna, dan pergi begitu saja. Hahah.. ini kebiasaanku.

Saat jam kosong seperti ini, biasanya, aku menulis kata-kata mutiara pada serial manga naruto favorit ku. Tapi kini tidak, aku akan melanjutkan misiku. Aku menghampiri Luna yang sedang dreaming di bangkunya.
“Wooyyy… ngelamun mulu! Awas, nanti kesambet, baru tahu rasa kamu.” Ucapku setengah meledek.
“Hus, ngomong apa sih. Kamu tuh yang sering kesambet. Jadinya sering ceramah.”
“Hahah.. O ya Stella, kamu masih marah sama Luna?” Tanyaku, dan dijawab anggukan oleh Stella.
“Kalo misal nih, Luna mau minta maaf duluan sama kamu. Kamu mau maafin gak?”
Stella menatapku, lalu tersenyum “Cika, aku selalu memaafkan orang yang meminta maaf padaku. Malu dong, Allah saja maha pemaaf, masa hambanya tidak.” Ucapan Stella memang halus dan bijak. Tapi sikapnya itu lohh.. kalau pembaca lihat pasti gak suka.
“Gimana, kalau kamu yang minta maaf duluan sama Luna.” Usulku coba-coba.
Stella menggeleng “Masih sakit hati dan dendam.” Jawabnya.
“hufftt” aku membuang nafas berat. Beraharap semua susah ini ikut berhembus bersama karbondioksida itu.
“Lagi pula, aku gak salah, dia sendiri yang salah karena sudah berkata yang tidak-tidak terhadapku.”
“Kamu memang gak salah Stell. Tapi, sikap kamu di mata Luna salah, jadi kamu tetap punya kesalahan dong, di mata Luna.” Ucapku
“Tapi aku gak mau minta maaf duluan!”
“Stella, apa salahnya sih, minta maaf duluan? Aku tahu, kamu sakit hati. Ibarat permainan panah meski memaafkan dan dimaafkan, masih berbekas. Lagipula, kalau kita meminta maaf tulus dari hati, sakit hati yang kita rasakan saat ini akan hilang dengan sendirinya. Kamu jangan kekanak-kanakan gini dong. Kita ini sudah dewasa, sudah tahu yang namanya dendam itu salah. Kamu harusnya malu dong, anak kecil aja kalau marahan suka langsung maaf-maafan. Kalau kamu kapan? Mau nunggu lebaran? Kelamaan, masih satu tahun lagi.. Marah lebih dari satu hari itu namanya orang egois.” Ucapku, dan pergi begitu saja. Hahah..

READ:  Cerpen Remaja - Pacarku Cowok Cupu Pacarku

Aku tidak akan pernah menyerah untuk menyatukan persahabatan kami. Mungkin ini adalah misi mulia hehe.. Tapi sumpeeehhh brayy susah.. Hari itu, aku berangkat sekolah seperti biasa. Aku langsung menuju kelasku yang terletak paling ujung kelas X.

Setelah sampai di kelas aku begitu terkejut. Aku sungguh tak menyangka. Oh God.. apakah ini mimpi? Atau nyata?
“Aaaaaaa…” Teriakanku menggema di kelas X8, dan seketika pula aku mendapatkan jitakan keras di kepalaku oleh teman lelakiku, dan mendapat omelan dari teman perempuanku.
“Aaaa… Stella… Luna…” Aku berteriak-teriak gaje, sambil jingkrak-jingkrakan.
“Cika, aku punya banyak obat di rumah, bisa kamu minum kok. Siapa tahu kamu sembuh..” Ledek Ayana dengan watadosnya.
“Ngehina kamu Ay, aku waras.” Tegasku! Dan tersenyum bangga kepada Luna dan Stella.
“Cika, terimakasih ya, aku gak tahu, mungkin kalau gak ada kamu, aku masih egois.” Ucap Luna. Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum dan sedikit anggukan.
“Iya Cik, mungkin kalau gak ada kamu, aku masih bersikap kekanak-kanakkan.” Ucap Stella.
“Iya.. nah, gini dong.. kan enak lihatnya, gak ada kubu satu kubu dua. Jadi kelas gak dingin lagi, ceria gitu lohh maksudnya. Lagi pula seharusnya kit..”
“Ahh sudahlah, jangan ceramah terus. Yang penting kita semua sudah baikan.” Ucap kinal.

Mengingat perjuanganku yang sulit untuk mempersatukan persahabatan kami itu, aku selalu ingin menjaganya. Meskipun selalu ada pertengkaran pertengkaran kecil di antara kami. Ya.. tidak masalah selama tidak membuat persahabatan kami retak. Sekarang aku hanya menjadikan kejadian itu untuk kukenang, dan aku jadikan guru untuk belajar, agar aku tak melakukan hal serupa. Karena, aku pernah mendengar, guru terbaik adalah masa lalu.